MALAM itu terdengar suara sayup-sayup dari Musala As'adah di kawasan Ratu Jaya, Depok, Jawa Barat. Suara itu 'menyapa' warga lingkungan sekitar. Perlahan tapi pasti suara itu berusaha "menyelinap" masuk ke dalam kamar-kamar rumah warga yang sedang terlelap tidur.
Lantunan ayat suci Alquran pun sesekali dibacakan. Harapannya jelas, warga segera bangun dan bergegas menyiapkan masakan untuk santap sahur. Ya, malam itu merupakan malam bulan suci Ramadan. Sebagian musala setia menjalani kebiasaan itu, namun ada pula musala lain yang tidak melakukannya.
Namun, seringkali saking pulasnya tidur sebagian warga justru kebablasan dan tidak sempat menyiapkan makan sahur karena gelombang suara yang diperdengarkan dari musala tidak cukup kuat untuk membangunkan mereka. Siti Nurbaya, salah seorang warga Ratu Jaya mengaku pernah mengalami hal tersebut. Padahal rumahnya hanya berjarak 20 meter dari toa musala.
Ia pun terburu-buru untuk menyiapkan makanan bagi kedua anak dan suaminya itu. Siti yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan itu tinggal di sebuah rumah kontrakan dengan dua kamar. Peristiwa itu sendiri dialaminya saat bulan Ramadan beberapa tahun silam.
"Kalau sudah puasa pertengahan begitu kan sudah agak malas, ditambah capek mungkin jadi bablas, enggak dengar sama sekali suara musala yang biasanya dengar," kata Siti mengawali ceritanya kepada Okezone.
Siti memang tak biasa menggunakan alarm di rumahnya terlebih memang dia tidak memiliki alarm khusus untuk membangunkan saat bulan puasa. Alarm dari ponsel pun terkadang tidak di-set-up terlebih dulu dengan alasan lupa dan memang tidak terbiasa.
Untuk itu kata dia, keberadaan para pemuda yang biasa membangunkan sahur keliling kampung sangat dibutuhkan. Puasa tahun ini, dirinya mengaku tidak terlalu khawatir karena remaja Musala Asa'adah kini mulai menggalakkan kembali kegiatan membangunkan sahur yang memang jadi ciri khas masyarakat Indonesia.
"Semoga saja mereka terus sampai akhir puasa karena kan bukan di awal-awal kayak sekarang nih nanti pas sudah mau akhir puasa biasanya banyak yang kelewat karena enggak bangun," ucapnya.
Hal serupa juga diungkapkan Siti Nurlela warga Cipayung, Setu Indah, Jakarta Timur. Menurutnya, keberadaan Karang Taruna Setu Indah aktif membangunkan warga. Terkadang memang hal itu dianggap sedikit berisik karena kegiatan itu dilakukan masih dini hari, meski begitu sangat membantu masyarakat khususnya dirinya pribadi.
"Enggak sih, malah ngerasa terbantu buat banguninanak-anak, karena ramai-ramai dan berisik. Jadi, anak saya penasaran kan pengen ngeliat ada apa ramai," tuturnya.
Bagi saya lanjutnya, kebiasaan seperti ini sudah jarang ditemukan terlebih di lingkungan komplek sekitar rumahnya. Beruntuk masih ada karang taruna yang mau melajukan hal itu sembari menjaga tradisi agar tetap terjaga sepanjang masa.
"Jadi kebiasaan ini harus dilestarikan, karna saya melihat banyak positifnya dibanding anak-anak kumpul-kumpul enggak jelas atau tawuran," ucapnya.
Tradisi dan Kemajuan Teknologi
Dewasa ini, tradisi membangunkan sahur mulai jarang ditemukan terlebih di kota-kota besar seperti Jakarta. Meski sebagian daerah masih menjaga kebiasaan ini namun tak jarang di antara mereka juga perlahan meninggalkan hal tersebut.
Salah satu faktor yang mendasar adalah perkembangan dan kemajuan teknologi. Sekarang ini setiap orang sudah memiliki telefon genggam yang memiliki sejumlah fitur seperti alarm. Mereka tak khawatir lagi kebablasan untuk sekadar bangun makan sahur.
Apalagi bagi mereka para mahasiswa yang tinggal di kos-kosan terkadang mereka memilih begadang atau tidak tidur menunggu sahur dan tidur setelahnya. Selain itu mereka yang tidanggal di ibu kota pun tidak terhambat untuk memasak, mereka bisa lebih praktis membeli makanan sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyiapkan makan.
"Kalau kita sih yang tinggal di kosan ini kan ramai jadi bisa dibangunin teman-teman satu kos dan alarm juga selalu standby," ucap Ibel salah seorang mahasiswa di perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Ibel mengaku tidak mengandalkan para pemuda-pemudi di lingkungan kosnya yang membangunkan sahur. Selama Ia tinggal di sana, dirinya mengaku belum pernah mendengar pawai bangunkan sahur. Baginya, sebiji telefon genggam alias handphone sudah lebih dari cukup sebagai asisten pribadi untuk membangunkannya.
"Saya juga tidur enggak susah bangun. Jadi, memang sudah biasa kan bangun pagi, juga salat subuh. Ya, enggak khawatir telat (bangun)," tuturnya.
Meski demikian, Ibel berharap agar tradisi pawai keliling membangunkan orang sahur bisa terus dilakukan. Bahkan jika perlu harus ditingkatkan, supaya menarik minat masyarakat. "Jadi, harus kreatif gelar pawai gitu melibatkan banyak orang dan enggak cuma sekadar teriak bangunin tapi ada nilainya di sana," kata Ibel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar